Dilema Palsu tentang Pelecehan dan Kejahatan Lainnya

Dependent Being
6 min readApr 4, 2023

--

Via Unsplash

Retorika “false dilemma” selalu memaksa setiap pendengarnya untuk berpihak pada satu sisi ekstrem dan menafikan sisi lainnya. Ia menjadi sebuah “oposisi biner” — persis retorika pemimpin Amerika Serikat pasca tragedi 9/11: either with us or against us (antara kalian bersama kami atau melawan kami).

Dilema palsu senantiasa mereduksi kompleksitas masalah. Dalam logika, ia menjelma menjadi bayangan yang menutupi manusia dari kebenaran yang lebih besar. Sedangkan dalam politik, ia mendorong manusia ke titik paling ujung dari suatu keberpihakan dan membuat manusia abai atas titik buta (blind spot)-nya sendiri.

Pada kasus pelecehan terhadap perempuan, di mana dilema palsu itu terjadi?

Pihak A terjatuh pada sikap ekstrem menyalahkan korban. Mereka berfokus pada pakaian apa yang dikenakan korbannya dan menafikan secara total bahwa suatu kejahatan bisa terjadi salah satunya karena ada kehendak dari pelakunya.

Pihak B terjatuh pada sikap ekstrem menyalahkan pelaku. Mereka menafikan kemungkinan bahwa ada sisi-sisi yang dapat dikoreksi, dievaluasi, dan dicegah dari sisi korban, tetapi korban tidak melakukannya sehingga peluang kejahatan terhadapnya meningkat.

Dilema palsu membatasi kemampuan kita untuk menelaah sisi-sisi lain dari masalah dan pada akhirnya menghalangi kita dari kebijaksanaan.

Tulisan sederhana ini hendak memeriksa Posisi A dan B di atas sambil menawarkan perspektif pertengahan berdasarkan kerangka pikir seorang muslim.

Evaluasi terhadap Posisi A

Posisi A tidak tepat karena menafikan kehendak bebas dari pelaku kejahatan. Free Will atau kehendak bebas adalah anugerah dari Allah ﷻ yang diberikan kepada setiap manusia yang akalnya sempurna. Mekanisme kehendak bebas ini yang memungkinkan setiap orang kelak mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di Hari Pembalasan.

Tak mesti di kehidupan selanjutnya, bahkan sistem hukum di dunia kita hidup sekarang mengenal konsep pertanggungjawaban. Setiap orang berakal dan berada dalam situasi bebas (tanpa paksaan) selalu punya pilihan untuk melakukan kebaikan atau keburukan.

Selanjutnya, kejahatan tidak mungkin terjadi jika tidak ada niat jahat dari pelakunya.

Anggaplah tumpukan uang yang diletakkan di tengah-tengah jalan. Uang tersebut tidak akan hilang jika tak ada orang yang berniat mengambilnya. Raibnya uang tersebut dari tengah jalan tanpa ada orang yang mengambilnya tentu bukan kesimpulan yang selaras dengan akal sehat.

Dan pelaku kejahatan juga tetap dapat dihukum; ia mengambil dan berniat memiliki sesuatu yang ia tahu bukan miliknya.

Lewat prinsip umum di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa terjadinya pelecehan terhadap perempuan dapat terjadi salah satunya karena ada niat jahat dari pelakunya.

Menafikan kehendak pelaku sama saja menafikan akal sehat seorang manusia.

Evaluasi terhadap Posisi B

Retorika sebagaimana Posisi B adalah retorika yang jamak diutarakan saat ini. Posisi B benar-benar secara total menafikan sisi korban dan hanya berfokus pada sisi pelaku.

Posisi B meletakkan korban pelecehan sebagai sosok yang tidak bisa sedikit pun dievaluasi dan dikoreksi, apapun kondisi dan situasinya. Segala koreksi terhadap korban, bagi Posisi B, dianggap sebagai pembelaan terhadap tindakan dan pelaku kejahatan.

Mari beranjak pada pemisalan sederhana.

Saya baru saja mendapat uang 100 juta rupiah. Alih-alih memasukkannya ke dalam koper yang terkunci rapat, saya menaruhnya di plastik transparan dan berjalan melewati daerah yang memiliki angka kriminalitas cukup tinggi.

Ada banyak jalan yang bisa saya tempuh untuk sampai di rumah tanpa harus melewati rute berbahaya tersebut, tetapi saya enggan. Saya tetap memilih rute tersebut sekalipun saya mengetahui bahwa hal itu akan membahayakan diri saya.

Ternyata ketika saya melewati daerah tersebut, benar saja, seseorang tiba-tiba menodongkan pistolnya ke arah saya dan memaksa saya menyerahkan uang 100 juta yang baru saja saya dapatkan.

Demi menjaga nyawa, tidak ada pilihan lain kecuali menyerahkan semuanya.

Prinsip umum di atas menunjukkan satu hal: kita punya kemampuan untuk melakukan upaya-upaya preventif dan terkadang kita sengaja/lupa untuk tidak melakukannya.

Apakah ini sama saja menyatakan bahwa pelaku kejahatan tidak bersalah dan kesalahan hanya ada pada korban? Tentu tidak.

Pelaku kejahatan adalah pihak yang patut disalahkan dan dikutuk atas kejahatannya, tetapi pihak korban, pada banyak kasus, juga dapat melakukan evaluasi atas tindakan kejahatan yang terjadi terhadapnya.

Posisi B menolak sama sekali kemungkinan bahwa korban dapat melakukan evaluasi dan koreksi atas kejahatan yang menimpa dirinya.

Padahal, posisi demikian adalah keliru. Adalah naluriah bagi kita untuk saling menasihati, bahkan setelah kejahatan terjadi. Misal terhadap kasus pencopetan di KRL: letakkan tas selalu di hadapan Anda!

Misal terhadap korban yang rumahnya menjadi sasaran pencurian: jangan lupa membeli gembok yang bagus dan senantiasa mengunci pintu di malam hari!

Jalan Tengah

Kedua posisi di atas sama-sama punya kekeliruan mendasar. Posisi A menafikan faktor pelaku dan posisi B menafikan evaluasi atas korban. Dengan demikian, jalan tengahnya dapat dirumuskan oleh premis-premis sebagai berikut.

  1. Setiap kejahatan terjadi akibat kehendak jahat dari pelaku kejahatan.
  2. Sekalipun terdapat kesempatan untuk berbuat jahat, kejahatan tetap tidak akan terlaksana apabila tidak ada kehendak jahat dari pelaku kejahatan.
  3. Dalam beberapa situasi, korban juga dapat melakukan introspeksi dan evaluasi atas kesalahan yang mungkin dilakukannya.
  4. Evaluasi korban tidak menghapuskan pertanggungjawaban pelaku kejahatan atas kejahatan yang telah dilakukannya.

Paragraf-paragraf selanjutnya dari tulisan ini akan menggunakan kerangka pikir seorang muslim.

Pembahasan atas Premis-Premis

Premis 1 dan 2 sudah cukup jelas sebagaimana telah dibahas dalam bagian Evaluasi terhadap Posisi A.

Premis 3 dapat ditelaah dari sisi perempuan secara umum dan khusus (perspektif seorang muslimah). Dari sisi umum, tentu perempuan yang tidak ingin dilecehkan sebisa mungkin menggunakan pakaian yang sopan, tertutup, dan sesuai adat setempat.

Hal itu adalah langkah preventif yang dapat dilakukan untuk menjaga diri. Sebagaimana secara naluriah kita meletakkan tas di depan saat berdesakan di dalam KRL dan juga mengunci rumah kita saat kita keluar rumah.

Secara khusus, sebagai seorang muslimah (dan juga muslim), aturan berpakaian adalah aturan yang secara rinci dibahas dalam syari’at Islam. Muslim-muslimah diharuskan mengetahui aurat masing-masing dan berpakaian yang dapat menutupi seluruh auratnya.

Nilai memakai pakaian bagi seorang muslim-muslimah tidaklah bersegi keanggunan duniawi saja, melainkan secara esensial adalah perwujudan ketaatan atas ketentuan Allah ﷻ.

Premis 4 adalah premis yang paling penting. Evaluasi yang dilakukan oleh korban kejahatan, dalam hal ini kasus pelecehan, tidak menghapus kesalahan pelaku kejahatan.

Entah sebanyak apapun evaluasi terhadap korban, yang bersalah dalam suatu tindakan kejahatan adalah yang memiliki niat untuk melakukan kejahatan, yakni pelaku kejahatan itu sendiri.

Beberapa Keberatan

(1) “Setiap perempuan bebas memakai pakaian apapun”

Keberatan di atas keliru, khususnya bagi seorang muslim-muslimah. Sebagai hamba Allah ﷻ, kita diwajibkan mengikuti dan tunduk pada syari’at-Nya, salah satunya yang berkaitan dengan cara berbusana dan berpenampilan.

Ada aurat yang harus dilindungi dan ada batas-batas tertentu yang harus ditaati agar tidak menyerupai lawan jenis. Rambu-rambu ini adalah rambu yang nyata diatur dalam hukum Islam, sehingga mengabaikannya merupakan kekeliruan yang harus diwaspadai oleh setiap muslim-muslimah.

(2) “Yang salah adalah otak laki-laki”

Betul bahwa apabila terjadi pelecehan oleh laki-laki, maka yang salah adalah otak laki-laki tersebut. Sebagai pelaku kejahatan, laki-laki tersebut patut dikutuk dan dihukum atas perbuatan bejatnya.

Namun, kalimat (2) di atas tak jarang digunakan sebagai dalil kebebasan mutlak bagi perempuan untuk berpakaian semaunya sendiri, yang pada akhirnya melanggar batas-batas kesopanan dan norma agama.

Sebagai seorang muslim-muslimah, sudah seharusnya kita menolak implikasi “samar” dari kalimat (2) di atas karena rambu-rambu berpakaian dan berperilaku telah diatur dengan sangat komprehensif oleh syari’at Islam.

(3) “Tapi yang memakai hijab, bercadar, dan menutup aurat pun masih menjadi korban pelecehan”

Betul bahwa ada beberapa korban pelecehan yang telah menutup aurat serapat dan sesempurna mungkin, tetapi tetap menjadi korban kejahatan. Apakah hal demikian membatalkan kewajiban menutup aurat dan menggunakan hijab?

Tentu tidak. Hal tersebut disebabkan hijab adalah syari’at Islam dan menutup aurat merupakan sesuatu yang wajib — ia adalah manifestasi penghambaan seorang muslim-muslimah terhadap ketentuan Rabb-Nya.

Sama seperti salat lima waktu. Beberapa orang mengaku merasa lebih sehat setelah rutin melakukan salat lima waktu. Namun, beberapa orang masih banyak yang mengidap penyakit sekalipun rajin melakukan salat lima waktu.

Apakah dengan demikian salat lima waktu menjadi tidak wajib? Semata-mata karena salat “gagal” membuat badan kita sehat?

Jawabannya: tidak. Salat, sebagaimana hijab, dan menutup aurat, tetaplah wajib bagi setiap muslim-muslimah.

(4) “Wajar saja menjadi korban pelecehan kalau pakaiannya terbuka begitu”

Kalimat (4) sangatlah keliru karena ia mewajarkan kejahatan. Tidak ada yang “wajar” bagi segala peristiwa kejahatan. Hanya karena seorang perempuan tidak menutup aurat dan berpakaian terbuka, bukan berarti melecehkannya adalah tindakan yang benar dan sesuai moral.

Justru sebaliknya, dalam kondisi apapun, melecehkan seorang perempuan adalah tindakan amoral. Mengucapkan kalimat (4) sama saja menormalisasi pelecehan dan kejahatan lainnya. Hal tersebut terjadi karena peran pelaku kejahatan seakan-akan disembunyikan dan ditutup-tutupi.

Padahal, kembali ke awal, segala kejahatan dapat terjadi karena ada niat berbuat jahat yang muncul pada diri pelaku kejahatan.

Simpulan

Segala kejahatan merupakan kesalahan dari pelakunya. Korban juga dapat melakukan introspeksi, evaluasi, dan koreksi atas apa yang terjadi pada dirinya. Namun, bukan berarti koreksi tersebut bertujuan untuk meringankan beban pertanggungjawaban atau membela pelaku kejahatan.

Sebagai muslim-muslimah, Allah ﷻ memerintahkan kita untuk menjaga pandangan (ghadul bashar) dan menutup aurat. Keduanya berjalan secara simultan sebagai upaya preventif kita menjaga kehormatan diri dan sesama manusia.

Wallahu A’lam Bisshowab

--

--

Dependent Being
Dependent Being

No responses yet